Membangun Harapan bagi Pasien Hepatitis

Minggu, 23 Desember 2018 - 10:28 WIB
Membangun Harapan bagi...
Membangun Harapan bagi Pasien Hepatitis
A A A
JAKARTA - Penyakit hepatitis B dan C sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kanker hati. Fokus meneliti mengenai virus hepatitis, Korri El Khobar ingin punya pendeteksi awal kanker hati.

Menurut Korri, kanker hati sesungguhnya dapat ditangani lebih baik jika bisa dideteksi lebih awal. Jangan sampai karena infeksi hepatitis B dan C yang sudah kronis malah berdampak lebih buruk bagi organ hati.

Lantas, apa saja yang sudah Korri lakukan? Inilah cerita mengenai rencana penelitiannya bagi dunia medis di Indonesia, yang berhasil mendapat penghargaan dari L’Oreal for Women in Science.

Bisa dijelaskan tujuan penelitian Anda?
Saya ingin menguji apakah status metilasi dari Polo-like kinase 1 (PLK1) dapat digunakan sebagai metode deteksi awal penyakit karsinoma hati seluler (KHS), yang merupakan jenis kanker hati primer yang paling umum pada penderita hepatitis B dan hepatitis C kronis di Indonesia.

PLK1 adalah enzim (protein) kinase yang secara tradisional berfungsi sebagai pengatur multifaset dari siklus sel, tapi ekspresi PLK1 banyak ditemukan meningkat pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker hati. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan metode pemeriksaan baru yang noninvasif.

Adakah alasan khusus mengapa Anda mengambil topik penelitian ini?
Ya karena saya prihatin. Sebagian besar penderita hepatitis B dan hepatitis C di Indonesia tidak mengetahui mereka mengidap penyakit ini. Karena tidak tahu sehingga tidak melakukan pengobatan. Para pasien baru berobat ke dokter setelah mereka ada manifestasi klinis yang cukup parah.

Memang tidak ada gejala untuk penyakit hepatitis B dan C sampai ketahuannya kalau sudah parah?
Hepatitis B dan C memang umumnya tidak ada gejala, sampai timbul peradangan hati cukup parah. Hepatitis dikenal dengan penyakit kuning dan untuk hepatitis B dan C biasanya ditularkan dari darah dan dapat menjadi penyakit menahun.

Kalau hepatitis A ditularkan melalui makanan, dapat menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah sakit kuning, tapi biasanya akan sembuh dengan sendirinya. Kalau hepatitis B dan C harus menjalani pengobatan antiviral agar gejalanya tidak lebih parah atau menjadi kanker hati.

Bagaimana awal proses memutuskan untuk meneliti ini?
Keterlibatan gen PLK1 dalam proses perkembangan penyakit hepatitis C saya temukan saat melakukan penelitian S-3. Sejak itu, saya berpikir bahwa gen tersebut bisa dijadikan sebagai biomarker untuk deteksi awal kanker hati.

Sebab, metode deteksi kanker hati yang ada saat ini terbatas pada pemeriksaan protein dalam serum dan biopsi hati. Biopsi hati itu mengambil jaringan langsung di hati. Tidak semua orang mau, makanya saya berpikir lebih baik memeriksa protein yang ada dalam serum.

Namun, pemeriksaan protein serum yang ada sekarang kurang sensitif untuk beberapa kasus. Oleh karena itu, saya berpikir kalau saya bisa menggunakan gen PLK1 ini untuk pemeriksaan yang lebih sensitif dengan hanya menggunakan sampel darah sehingga mungkin lebih baik untuk manajemen pasien hepatitis B dan C.

Rencananya ini akan digunakan dokter ya?
Kelak akan digunakan oleh tenaga medis. Tapi, saya punya impian dan keinginan untuk membuat suatu kit diagnosis untuk deteksi status metilasi PLK1 pada pasien hepatitis. Saat ini saya sedang melakukan studi apakah memang status metilasi PLK1 pada pasien hepatitis dapat berkaitan dengan manifestasi klinis dari pasien tersebut, termasuk kanker hati.

Jika memang ditemukan asosiasi yang kuat antara status metilasi PLK1 dan kondisi klinis pasien hepatitis, maka saya akan melanjutkan studi tersebut dengan mendesain kit diagnostik untuk melakukan pemeriksaan status metilasi PLK1 tersebut.

Anda bekerja di laboratorium hepatitis. Sejak kapan dan mengapa Anda tertarik dengan hepatitis?
Saya bergabung dengan Lembaga Eijkman pada 2006, tidak lama setelah saya lulus S-1. Jujur sebelum saya masuk di situ saya tidak terlalu aware dengan hepatitis. Saya hanya tahu ini suatu penyakit serius, tapi tidak tahu persis mengenai jumlah penderita dan seberapa bahaya.

Kebetulan atasan saya di Eijkman adalah praktisi hepatologi dan dia sangat concern terhadap hepatitis karena dia memang berhadapan langsung dengan pasien. Beliau mengetahui secara pasti apa yang dialami pasien dengan penyakit tersebut.

Setelah mempelajari mengenai hepatitis B dan C, saya paham bahwa keduanya penyakit menular yang penting di Indonesia dari segi jumlah pengidap yang ada. Banyak yang tidak tahu kalau mereka mengidap penyakit tersebut, sehingga dapat menularkan kembali ke orang lain melalui kontak darah (transmisi horizontal).

Bisa juga terjadi transmisi vertikal hepatitis B, yaitu dari ibu hamil ke anaknya, bahkan pencegahan transmisi vertikal hepatitis B ini sudah menjadi salah satu program Kemenkes. Kegiatan utama kami di Lembaga Eijkman adalah mempelajari keanekaragaman virus hepatitis B dan C di Indonesia.

Kami melakukan sampling ke berbagai daerah di Indonesia untuk melihat prevalensi virus hepatitis B pada populasi di daerah tersebut. Kami menemukan prevalensi hepatitis B cukup tinggi, di mana ada kecenderungan prevalensi hepatitis B yang lebih tinggi di bagian timur Indonesia.

Apa tantangan Anda meneliti mengenai penyakit hepatitis B dan C selama ini?
Terkadang kita butuh melakukan kolaborasi dengan pihak luar, terutama untuk mempelajari teknik-teknik baru yang belum ada atau belum masuk ke Indonesia. Jadi, kita sebisa mungkin berusaha meningkatkan kapasitas kita di Indonesia, berusaha mengembangkan teknik baru sehingga nanti tidak terlalu bergantung pada pihak luar dan tidak ketinggalan.

Apa suka-duka menjadi peneliti?
Karena jadi peneliti, saya beruntung bisa mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S-2 dan S-3 di luar negeri serta bekerja di lembaga penelitian terkemuka di luar negeri. Saya juga berkesempatan bertemu peneliti-peneliti terkemuka, baik dari lembaga nasional maupun internasional.

Saya bahkan berkesempatan bertemu beberapa ahli terkemuka yang artikel ilmiahnya pernah saya baca sewaktu kuliah. Dukanya mungkin karena sering dianggap sebelah mata dan merasa kurang diapresiasi.

Apa pandangan Anda tentang peneliti di Indonesia?
Banyak orang katakan, peneliti itu pasti manusia yang pintar, padahal semua itu relatif. Yang terpenting adalah memiliki passion untuk meneliti. Karena dari segi reward secara finansial, rasanya masih kurang kalau di Indonesia.

Banyak juga yang suka bertanya berapa penghasilan peneliti?
Banyak yang menanyakan soal penghasilan peneliti. Namun, saya rasa para peneliti umumnya sudah sadar bagaimana apresiasi terhadap mereka di Indonesia. Namun, saya menilai karena keterbatasan itu, harus jadi semangat untuk terus meneliti dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang.

Bagaimana kalau peneliti perempuan di Indonesia? Kalau saya melihat peneliti di Eijkman rata-rata memang perempuan. Ketika saya melihat di luar Eijkman, saya baru menyadari bahwa peneliti perempuan itu masih jarang.

Bagaimana dukungan pemerintah?
Seharusnya pemerintah lebih mendukung pengembangan kapasitas peneliti dan ketersediaan dana penelitian. Tetapi, saya lihat sekarang sudah banyak tersedia kesempatan atau beasiswa untuk melanjutkan pendidikan dan dana hibah penelitian yang bisa diajukan.

Mungkin pemerintah juga dapat mempermudah dalam hal mendatangkan bahan atau reagen penelitian dari luar negeri sehingga kita tidak perlu menunggu lama tibanya bahan atau reagen tersebut.

Harapan Anda untuk penelitian ini?
Agar terwujud kit diagnostik untuk deteksi awal kanker hati pada pasien hepatitis. Semoga ini bisa berguna untuk mencegah angka kejadian kanker hati.

Pesan untuk peneliti perempuan?
Tetap semangat ikuti passion meneliti. Kalau memang bercita-cita jadi peneliti, pasti ada jalan. Untuk teman-teman peneliti perempuan Indonesia lain tetap memiliki semangat dalam melakukan penelitian di Indonesia dan tidak ragu untuk mempresentasikan hasil penelitiannya pada ajang nasional ataupun internasional. Saya yakin banyak sekali topik penelitian di Indonesia yang memiliki nilai ilmiah atau komersial yang tinggi, dan tidak kalah dari peneliti negara lain.

Dekat dengan Cita-Cita Masa Kecil
Menjadi peneliti sebenarnya bukanlah cita-cita Korri saat masih sekolah. Seperti kebanyakan anak di Indonesia, Korri juga bercita-cita dan bermimpi menjadi dokter.

Namun, impian tersebut tinggal angan-angan karena saat kuliah, wanita 34 tahun ini tak berhasil masuk jurusan kedokteran. “Saya masuk biologi dan ketika lulus pilihan kerjanya ada dua, di laboratorium atau di lapangan.

Saya merasa tidak mau kerja di lapangan, jadi ya bekerja di laboratorium (lab) saja. Setelah lama, ternyata saya sangat bisa menikmati setiap proses dari penelitian di lab itu,” kenangnya. Pandangan Korri pun berubah terhadap seorang peneliti. Peneliti dapat meneliti berbagai aspek yang bermanfaat bagi orang lain.

Bahkan, kini Korri bisa masuk ke bidang medis seperti yang dicita-citakannya dulu. Korri sangat berharap penelitiannya dapat digunakan oleh dokter atau tenaga medis lain. Walaupun tidak menjadi dokter, dia berupaya memberi solusi bagi persoalan di ranah kesehatan masyarakat.

Untuk urusan membantu kesehatan orang lain, tentu itu bukan lagi angan-angan. Mengikuti ajang L’Oreal-UNESCO for Women in Science sudah lama diincar Korri. Namun, dia merasa belum siap lantaran baru lulus S-2. Padahal dua senior di kantornya sudah lebih dulu menjadi pemenang dalam ajang ini.

“Saya yakin untuk ikut dalam L’Oreal for Women in Science dan memang ada tuntutan untuk S-3. Saya rasa tahun ini saya harus mencoba,” ujar Korri. Penelitian Korri ini dirasa tidak mudah. Kesulitan dialami saat penjurian guna mencari ide secara spesifik yang applicable .

Sebab, Korri mengakui, dirinya tidak terlalu paham basic science . Dia sempat bingung sehingga membutuhkan kolaborator. “Akhirnya saya mengontak senior saya di Australia, menawarkan untuk bergabung dengan penelitian ini. Ternyata beliau bersedia,” jelasnya.

Bagi Korri, sebuah penelitian tidak bisa dikerjakan sendiri. Butuh bantuan dari berbagai pihak yang berhubungan dengan elemen-elemen penelitian. Hal ini yang membuatnya semakin jatuh cinta pada profesi peneliti.

“Kolaborasi penting untuk mengembangkan kapasitas penelitian dalam rangka transfer knowledge juga teknik. Dengan berkolaborasi, kita dapat mengakses teknologi atau bahan yang mungkin belum ada di institusi asal sehingga dapat meningkatkan kualitas penelitian yang dilakukan,” tandasnya. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1290 seconds (0.1#10.140)